Selasa, 31 Januari 2012

Oleh-oleh Kelas Menulis

Oleh-oleh Kelas Menulis

Tak seperti hari Minggu biasanya,  pagiku sudah sibuk hari ini.  Ceuceu, gadis kecilku, harus berangkat pagi untuk  mengikuti try out di sekolah.  Sedangkan aku, bersiap mengikuti kelas menulis di Rumah Cahaya.  Acara dimulai jam 9, demikian tertulis di sms yang kuterima.  Berarti jam setengah 9 aku sudah harus berangkat, bila ingin sampai tepat waktu.
 
Setelah ritual pagi, mulai dari membangunkan anak-anak,  bermain sebentar dengan Nail, menyiapkan sarapan, lalu aku bersiap mandi.  Menu sarapan mie instan pagi ini disambut cukup meriah.  Ternyata, semua baru selesai jam 8.45.  Berarti perkiraan keberangkatan meleset.  Better late than never, akhirnya diantar suami tercinta, dan pendukung setiaku, Nail, aku meluncur menuju Rumah Cahaya.

Senin, 09 Januari 2012

Namaku Tia

 Aceh, Desember 2004
Matahari bersinar dengan garangnya.  Lumpur hitam memberati kaki kecilku.  Aku masih terus berjalan. Kehampaan, kegamangan memenuhi jiwa.  Satu-satunya yang kutahu adalah terus melangkah.
Sungguh tak dapat kumengerti. Pagi tadi, tiba-tiba saja sebuah goncangan dahsyat membelah tanah di desaku membuat kami berhamburan ke luar rumah. Tak lama berselang, gulungan ombak hitam pekat bergulung-gulung. Aku menggenggam tangan Ayah sambil berlari, tapi ombak itu menyapu apapun dengan cepatnya.  Masih terdengar jeritan Ibu.  Kemudian, hanya  hitam di sekitarku.

Indahnya nikmat-Mu

Hari Minggu, 8 Januari 2012, kuawali hari ini dengan bergegas.  Semangat awal tahun memenuhi hati.  Sesuai rencana, pukul 9 pagi aku sudah meluncur menuju tempat Launching Novel “Marwah di Ujung Bara” karya Rh. Fitriadi.  Acara yang diadakan di gedung AAC Dayan Dawood, Darussalam, Banda Aceh ini ternyata banyak peminatnya.  Tentu saja sebagian besar peminatnya adalah mahasiswa, dan kebanyakan perempuan. Syukurlah aku datang saat acara belum dimulai, novel “Marwah di Ujung Bara” sudah di tangan, sehingga aku bisa menunggu acara sambil membacanya.

Jumat, 06 Januari 2012

Muara Kelam

By: Rainy Safitri

      Plak!  Tamparan itu kembali mendarat di pipiku.  Sakitnya menembus hingga ke selaksa sendi hati.  Aku hanya menangis dan terduduk di sudut kamar.
      “Ampun Bang …, apa kesalahanku?” isakku.
      “Apa katamu? Tidak kau lihat jam berapa sekarang? Apa saja kerjamu di luar sana!” Matanya nyalang menatapku.
      “Aku pergi mijat Bang, pelangganku minta sekalian dilulur, jadi keburu adzan Maghrib.  Aku shalat dulu di sana, makanya terlambat sampai di rumah,” kucoba menjelaskan padanya.
      “Hah! Alasan saja kau! Bilang saja kau memang sudah tak mau pulang!” katanya.  Semua penjelasanku tak mampu meredakan amarahnya.  Aku hanya diam, semua sayatan nyeri meranggas di seisi bilik jiwaku.