Jumat, 13 April 2012

Jangan Lagi Tuhan. Tidak di Acehku.

Sore itu, cuaca panas. Aku berangkat ke sekolah Hilmy, anak sulungku,  untuk mengurus administrasi persiapan pendaftaran ke SMA.  Nada ikut untuk berangkat les seperti biasanya.  Nail sudah pasti tak pernah mau ketinggalan.  Belum sampai lima menit mobil melaju, di pinggir jalan orang-orang nampak ramai.  

"Ada yang kecelakaan ya Bu?" tanya supirku.

"Kayaknya nggak ada, kenapa ya orang kok heboh begitu?" Aku balik bertanya.

Tiba-tiba, mobil terasa seperti digoyangkan ke kiri dan ke kanan.  Orang-orang berhamburan ke jalan. Masya Allah!  Gempa!

Seketika supirku menghentikan mobil.  Beberapa saat kami terdiam dan terombang-ambing di dalam mobil. Saat itulah aku teringat, adikku sendirian di rumah.  Segera kuminta supir memutar arah, menjemput adik di rumah.
Hilmy segera kutelpon, namun sulit tersambung.  Begitu juga suamiku.  Ya Allah, lindungi mereka, bisikku.

Sesampai di rumah goyangan sudah tak terasa.  Segera kami nyalakan radio di mobil, dan mendapat informasi bahwa gempa ini berpotensi tsunami.  Kucoba kembali menelpon suami, dan Hilmy, tapi tak juga tersambung.  Tak berapa lama Hilmy datang diantar kawannya dengan sepeda motor. Segera kuajak semua naik dalam mobil. Pikiranku hanya satu, menemui suami di kantor.  Berkumpul di sana apapun yang terjadi.

Mobil berjalan menuju kantor.  Rupanya suamiku pun khawatir dan menggunakan mobil kantor hendak ke rumah. Untunglah kami berpapasan di muka mesjid, kemudian memarkir kendaraan di sana.  Saat itu tepat waktunya shalat Ashar.  Mesjid sudah penuh dengan warga yang cemas.  Shalat Ashar sore itu padat oleh warga yang shalat berjamaah, padahal biasanya mesjid Meuketop hanya penuh dengan anak-anak yang mengaji di sore hari.

Hari itu sungguh berbeda. Seorang bapak dengan kepanikan yang menggantung di matanya, sibuk menelpon.  Seorang Ibu tak kuasa menahan airmatanya, bercerita tentang luka dikakinya akibat tsunami 2004 lalu.  Di jalan seorang Ibu menuntun tiga orang anaknya menyeberang jalan.  Matanya menyiratkan kecemasan luar biasa, tak dilihatnya lagi kendaraan yang melintas.  Mungkin satu-satunya yang difikirkan hanyalah lari sejauh mungkin. Entah kemana.

Kemacetan mulai terjadi di jalan Teuku Umar.  Semua menuju ke arah yang sama, Mata Ie, Lambaro, dan Blang Bintang.  Orangtua, saudara, dan para sahabat ramai menanyakan keadaan kami., bahkan Ibu menangis, karena khawatir.  Sungguh  suasana yang begitu mencekam.  Terselip keharuan di sela kecemasan.  Betapa perhatian dan doa senantiasa menyertai kami di saat-saat sulit itu.  Saat itu juga semua berdoa untuk Aceh. Bayangan Tsunami 2004 menghantui pikiran semua orang di berbagai daerah, tidak hanya warga Aceh.

Setelah shalat, kami berkumpul di kantor.  Kami sempat berkeliling dengan mobilkantor melihat situasi di kota.  Suasana begitu mencekam.  Mesjid Baiturrahman menjadi pusat berkumpulnya warga masyarakat.  Selama perjalanan itu, yang terbayang di pelupuk mataku adalah pemandangan Tsunami 2004.   Tuhan, jangan biarkan itu terjadi lagi.  Di jembatan Peunayong nampak orang-orang yang memandangi air sungai.  Mereka menandai air.  Jika air sungai tiba-tiba surut, maka itulah saatnya mencari tempat yang tinggi.  Pengalaman Tsunami 2004 lalu membuat masyarakat lebih tahu keadaan, tahu apa yang harus dilakukan. Hanya saja masih ada sebagian warga yang panik dan berlarian tak tentu arah, sehingga menyebabkan kemacetan.

Kami kembali ke kantor.  Menunggu kabar selanjutnya mengenai status Tsunami. Tiba-tiba bumi kembali bergoncang.  Berbagai kalimat dzikir meluncur begitu saja.  Kami berkumpul di halaman kantor.  Nail hanya bengong, dan merasakan kecemasan kami.  Gempa ini sama besar dengan yang pertama tadi.  Menyusul pengumuman kembali bahwa gempa tersebut berpotensi Tsunami.  Kami memutuskan mencari tempat yang tinggi.  Tujuannya ke arah Lambaro.  

Semua ada dalam satu mobil menuju Lambaro, tiba-tiba saja aku teringat kisah seorang teman saat Tsunami 7 tahun silam.  Saat itu ia dan keluarganya berada dalam satu mobil, dan hanya dialah satu-satunya orang yang selamat dalam tragedi itu.  Ya Allah, semua terjadi atas kuasa-Mu. Namun ijinkan aku meminta, jangan timpakan lagi kesedihan dan luka itu pada tanah Aceh. Bagi mereka yang pernah mengalami bencana dahsyat itu, hari ini pasti sangat mengerikan rasanya.  Semua luka yang sudah cukup lama tersimpan terkorek ke luar.  Luka yang dalam yang hari ini berdarah lagi. Mataku berkali-kali menghangat melihat mereka yang berkumpul di lapangan, mesjid dan pinggir jalan dengan wajah cemas.

Ironisnya, gempa ini terjadi selang dua hari dari kemenangan Partai Aceh dalam pemilihan gubernur.  Bencana adalah bencana, namun bukankah Allah memberikan suatu kejadian untuk dipetik hikmahnya.  Mungkinkah saat itu Allah sedang mencoba mengingatkan kita tentang satu hal. Bahwa perdamaian dan pembangunan yang terjadi di Aceh saat ini dibayar oleh ribuan nyawa yang melayang 7 1/2 tahun silam.  Bahwa Tsunami 2004 tidak hanya menyisakan luka mendalam, tapi juga kemajuan dan terbukanya Aceh dalam pembangunan.  Mungkin Allah berusaha mengingatkan para pemimpin kita, bahwa tak perlu lagi Tsunami yang lain untuk mendamaikan Aceh.  Mungkinkah Allah sedang mengingatkan kita, bahwa kemajuan dan pembangunan ini tidak seharusnya membuat kita melupakan-Nya.  Sudah seharusnya kemudahan yang diberikan Allah tidak membuat kita meninggalkan perintah-Nya dan mendekati larangan-Nya.