Jumat, 06 Januari 2012

Muara Kelam

By: Rainy Safitri

      Plak!  Tamparan itu kembali mendarat di pipiku.  Sakitnya menembus hingga ke selaksa sendi hati.  Aku hanya menangis dan terduduk di sudut kamar.
      “Ampun Bang …, apa kesalahanku?” isakku.
      “Apa katamu? Tidak kau lihat jam berapa sekarang? Apa saja kerjamu di luar sana!” Matanya nyalang menatapku.
      “Aku pergi mijat Bang, pelangganku minta sekalian dilulur, jadi keburu adzan Maghrib.  Aku shalat dulu di sana, makanya terlambat sampai di rumah,” kucoba menjelaskan padanya.
      “Hah! Alasan saja kau! Bilang saja kau memang sudah tak mau pulang!” katanya.  Semua penjelasanku tak mampu meredakan amarahnya.  Aku hanya diam, semua sayatan nyeri meranggas di seisi bilik jiwaku.

*****
      Aku terbangun dengan nyeri yang masih tersisa.  Matahari masih tertutup tepian malam,  dinginnya air  sumur menusuk tulang. Kuadukan segala perihku pada Allah, tak lama adzan subuh membelai telingaku, kutunaikan baktiku pada Sang Pemilik Hidup.  Bang Pandi, suamiku, masih menikmati mimpinya.  Aku harus segera membuatkan sarapan dan kopi untuknya, lalu berangkat ke pasar. 
      Semburat jingga mulai menghiasi langit saat aku memacu motorku menuju pasar. Pikiranku melayang pada peristiwa malam tadi.  Tak terhitung lagi makian dan pukulan yang kuterima selama ini.  Sepertinya semua menjadi bagian dari hari-hariku.  Terlambat pulang dari bekerja, masakan tak enak, bahkan kopi terlalu panas, bisa membuat Bang Pandi marah besar dan tangan kekarnya itu dengan leluasa mendarat di tubuhku.  Entah sampai kapan aku bertahan dengan semua ini.  Kulakukan semua hanya demi masa depan kedua putriku.  Seketika mataku menghangat dan hatiku didera kepedihan.
      Seperti biasa, aku membeli semua bahan-bahan memasak untuk pesanan rantang hari ini.  Sejak Bang Pandi di-PHK, akulah yang bekerja untuk menyambung hidup dan menyekolahkan putri-putriku.  Awalnya Bang Pandi masih melamar kerja kesana kemari, tapi tak ada hasil.  Tabungan kami makin lama makin menipis.  Terlalu lama menganggur membuat Bang Pandi frustrasi dan sering menghabiskan waktu di warung kopi dengan sesama pengangguran.  Lama kelamaan tabiatnya berubah, ia mulai suka berjudi dan mabuk-mabukan. Kalaupun sesekali mendapat pekerjaan menjadi buruh bangunan, uangnya selalu habis di meja judi.
      Akhirnya aku memutuskan membuka usaha rantangan.  Langgananku semakin hari bertambah dan hasilnya lumayan, bisa menyambung hidup kami sekeluarga.  Untuk tambahan penghasilan, setelah mengantar rantang aku menerima panggilan memijat dan lulur ibu-ibu sekitar rumahku.  Melihatku sibuk dengan pekerjaan, Bang Pandi bukannya senang.  Dia  malah sering tidak pulang, menghabiskan malam dengan berjudi dan melampiaskan kekesalannya dengan memaki dan memukuliku. 
      “Mak, masak apa hari ini?” tanya Tami memecah lamunanku.
      “Mamak buat ikan sambal, daun ubi tumbuk, sambal teri sama bakwan jagung.  Gimana …, cocok kan?” jawabku .
      “Hmm … cocok tuh Mak, Tami jadi laper …,” katanya lagi
      “Belum ada yang matang, bantu dulu Mamak cuci ikan,” pintaku pada Tami.
      “Tapi ... bantu Mamaknya bentar aja ya Mak, Tami ada kuliah pagi ini,” ucap anakku manja.
      “Iya …, cepatlah cuci ikan itu …, baru pergi mandi,” kataku.
Tak terasa Tami telah memasuki masa kuliahnya.  Aku sungguh bersyukur pada Allah, karena diberi kemudahan menyekolahkan putri pertamaku.  Tami anak yang sangat lembut dan selalu bisa menyejukkan hatiku.  Dia juga sangat pintar, sehingga lolos Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).  Dengan bantuan Pamannya dia bisa melanjutkan kuliah di Universitas Negeri di Medan, fakultas Ekonomi.  Aku harus terus berjuang untuk mengantarnya pada masa depan yang lebih baik.
      Ternyata biaya kuliah tidak sedikit.  Reni, putri keduaku pun masih memerlukan biaya untuk masuk ke SMA.  Keheningan malam menjadi saatku menyampaikan segala kekhawatiran, keluhan dan harapanku pada Allah SWT.  Aku hanya memohon diberi kesempatan memberi kehidupan yang indah bagi kedua putriku. Mereka berdua adalah sumber kekuatanku. Allah seakan menjawab doaku,
      “Mak, Tami mau kerja boleh Mak …?” tanya Tami.
      “Kerja dimana Nak? Bagaimana kuliahmu nanti?” Tak bisa kusembunyikan kekhawatiranku.
      “Diajak teman Tami di jalan Setiabudi Mak. Tami kerja sore sampe  jam 9 malam, jadi paginya masih bisa kuliah,” katanya kemudian. “Kan Tami jadi gak repotin Mamak terus dan bisa bantu Mamak,” lanjutnya.
      “Asal gak ganggu kuliahmu, Mamak setuju aja …, tapi hati-hati ya Nak, nanti kamu kan sering pulang malam,” akhirnya kujawab dengan kegetiran di hatiku.
      “Iya Mak,  Insya Allah Tami bisa jaga diri,” Tami meyakinkanku.
Tami mendapat tawaran pekerjaan di salah satu counter seluler yang terkenal.  Sesungguhnya hatiku sedih, melihat putriku harus berlelah-lelah bekerja sambil kuliah.  Namun, tuntutan kebutuhan hidup saat ini semakin sulit. 
      Beban hidup kami sedikit lebih ringan sejak Tami bekerja.  Paling tidak Reni bisa melanjutkan ke SMA.  Putri keduaku anak yang tomboy.  Prestasinya dalam olah raga beladiri  membuatnya mendapat beasiswa saat masuk SMA.  Selama ini Reni yang selalu membelaku bila sedang dipukuli Bang Pandi.  Dia berani berdiri menentang ayahnya untuk melindungiku.  Dalam segala derita ini, kedua putriku adalah obat yang mampu membangkitkanku dari kehancuran.
      Sementara Bang Pandi, semakin larut dengan dunia kelamnya.  Akhir-akhir ini, dia jarang sekali pulang.  Setiap kalah berjudi, ia pulang sambil mencari-cari simpanan uang dan melampiaskan kemarahan dengan mencari-cari kesalahanku.   Seringkali aku tak tahan dengan semua ini, tapi Bang Pandi selalu mengancam akan menjual rumah dan tak akan mau menjadi wali putrinya bila menikah nanti. Aku tak ingin putriku menikah tanpa didampingi ayahnya, aku tak ingin mereka dihina orang karena ibunya seorang janda.  Biarlah kujaga keutuhan rumah tangga ini, walau harus kulalui dalam kelam.
      *****
      Waktu berlalu begitu cepat, Reni sebentar lagi lulus SMA dan Tami sedang menyusun skripsi.  Reni ingin sekali melanjutkan kuliah di jurusan Komunikasi.
      “Ren, sabar ya, kamu tunggu kakak selesai kuliah dulu,” ucap Tami pada adiknya.
      “Kakak tenang aja …, Reni gak apa-apa, Kakak konsentrasi aja dulu susun skripsinya,  Reni kan bisa isi waktu dengan latihan dan pertandingan setelah lulus SMA nanti” Reni meyakinkan kakaknya.
      “Insya Allah Kakak akan bantu kamu kuliah sampai selesai.  Pokoknya kamu harus kuliah, supaya kita bisa memberi ibu kebahagiaan,” lanjut Tami.
Air mataku menitik mendengar percakapan dua bidadariku ini.  Bagiku segala deraan perih dan makian Bang Pandi  adalah ujian untuk mendapatkan hadiah terbesar dari Allah. Inilah hadiah itu. Dua bintang terang yang saling mendukung untuk masa depannya. Belaian kesejukan merambati hatiku melihat mereka begitu mengasihi satu sama lain.
      Duniaku terasa terang benderang saat aku menghadiri wisuda Tami.  Sesuai janjinya, Reni pun mulai kuliah dengan bantuannya.  Tak lama kemudian Tami dilamar dan menikah dengan Hendri. Aku menangis, tapi kali ini tangisan bahagia melihat putriku menikah dengan pria yang baik.  Bang Pandi bersedia menjadi wali setelah Tami dan Hendri memohon.  Tami pindah ke Semarang bersama suaminya. Walaupun perpisahan ini  membuatku sedih, tapi aku harus merelakannya. 
      Bang Pandi semakin jarang pulang ke rumah.  Menurut berita yang kudengar, dia menikah lagi dengan seorang perempuan di kampung sebelah.  Aku  tak peduli.  Begitu terbiasa dengan kekelaman ini membuatku kebal dan aku harus bertahan untuk Reni anakku.  Aku harus bertahan dalam kelam untuknya.  Siksaan untukku belumlah usai.  Pukulan dan makian tetap kuterima saat Bang Pandi pulang ke rumah dalam keadaan mabuk.
        Sepulang aku memijat seorang langganan, tiba-tiba saja dia datang membongkar kamar dan isi lemariku.  Kali ini tingkahnya sangat keterlaluan.  Ia mencari sertifikat rumah kami yang tentu saja harus  kupertahankan.  Amukannya semakin menjadi.  Sambil berteriak memakiku, ia terus memukuli wajah dan tubuhku.  Sekujur raga ini rasanya remuk redam.  Reni sedang di tempat latihan, sehingga hanya ada kami berdua.  Aku hanya bisa menjerit dan menangis menahan nyeri di segenap jiwa ragaku, namun kunci lemari tempat sertifikat itu tersimpan, tetap kusembunyikan.  Tak mendapatkan yang diinginkannya,  Bang Pandi pergi meninggalkanku tersungkur di pojok kamar.
      Reni mendapatiku menangis di kamar dengan luka memar di sekujur tubuhku.  Serta merta amarah menguasainya. 
      “Ini gak bisa dibiarin Mak …! Bapak macam apa seperti itu?” katanya penuh amarah.
      “Sudah … sudah …, bantu  Mamak ke kamar mandi.  Mamak mau shalat,” ucapku coba menenangkannya.
      “Gak bisa Mak.  Aku capek liat Mamak menderita.  Mamak harus pisah sama Bapak!” ucapan Reni sungguh mengagetkanku.
Perceraian,  kata yang selalu kuhindari bertahun-tahun lamanya demi menjaga putriku.  Kini kata itu harus kudengar dari Reni, putri yang menjadi penyangga rapuhku.
      “Apalagi yang Mamak harapkan dari Bapak? Selama ini pun Mamak yang berjuang menyusuri panasnya jalanan untuk kami.” katanya lagi. ”Dia sudah tak peduli sama kita sejak dulu. Mamak hanya dibuatnya menderita.  Cukup Mak! Aku tak tahan lagi melihat Mamak seperti ini,” suara Reni terdengar bergetar menahan kegetiran dalam hatinya.
      “Tapi nak…,” jawabku ragu.
      “Sudahlah Mak, aku sudah cukup dewasa, kuliahku sebentar lagi selesai, Kak Tami pun sudah bahagia dengan mas Hendri.  Aku akan menemukan kebahagiaanku sendiri.  Ini saatnya Mamak hentikan semua derita ini,” airmata mulai menetes di pipi permata hatiku. ”Aku akan temui Paman, pasti Paman mau mengurus semuanya.”
Pertahananku hancur sudah.  Aku menangis dalam pelukan Reni.  Aku sadar bahwa semua ini sudah terlalu menyakitkan bagiku dan ternyata juga bagi putriku. Aku harus membebaskan diri dari lingkaran keperihan ini.  Ternyata benar ucapan orang selama ini, Bang Pandi sudah menikah lagi. 
      Setelah peristiwa itu aku, dan Reni mengontrak rumah kecil dan melanjutkan usaha rantangan.  Reni menyusun skripsi sambil bekerja di sebuah surat kabar lokal. 
      “Mak, sini foto dulu,” panggil Reni mengagetkanku. ”Kok malah bengong….” Reni  merangkulku.  Kami berfoto bersama.  Aku, Reni, Tami, dan Hendri.  Hari ini sekali lagi aku menghadiri wisuda putriku.  Reni telah lulus dengan nilai terbaik di fakultasnya.  Melihatnya memakai toga dan memberikan sambutan di podium menciptakan telaga bening di pelupuk mataku.  Kelamnya hidupku sirna sudah.  Pancaran kebahagiaan di mata Tami dan Reni membuat jutaan bintang  menyinari hatiku.  Ah …, lagi-lagi sudut mata ini basah, mengalirkan kesejukan dalam rongga hatiku.  Kini aku berharap Reni mendapat pendamping hidup yang menyayangi dan menjaganya sepenuh hati.  Doa akan selalu mengalir untuk mereka tanpa putus. Sungguh aku yakin bahwa janji Allah tak pernah ingkar.  Bersama kesulitan pasti ada kemudahan.
      Dan Bang Pandi?  Akhirnya takdir itu tiba padaku. Aku resmi bercerai dengan Bang Pandi.  Dia bersedia menceraikan aku dengan syarat kami menjual rumah dan membagi dua hasilnya.  Harta gono gini yang tak seberapa itu dibawa Bang Pandi untuk menghidupi istri barunya.  Sungguh ..., aku tak peduli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar