Senin, 09 Januari 2012

Namaku Tia

 Aceh, Desember 2004
Matahari bersinar dengan garangnya.  Lumpur hitam memberati kaki kecilku.  Aku masih terus berjalan. Kehampaan, kegamangan memenuhi jiwa.  Satu-satunya yang kutahu adalah terus melangkah.
Sungguh tak dapat kumengerti. Pagi tadi, tiba-tiba saja sebuah goncangan dahsyat membelah tanah di desaku membuat kami berhamburan ke luar rumah. Tak lama berselang, gulungan ombak hitam pekat bergulung-gulung. Aku menggenggam tangan Ayah sambil berlari, tapi ombak itu menyapu apapun dengan cepatnya.  Masih terdengar jeritan Ibu.  Kemudian, hanya  hitam di sekitarku.


 

Sunyi sekali. Panas matahari menyentuh pipiku. Uhh…, mataku perih, dadaku terasa sakit. Hamparan lumpur hitam, runtuhan kayu, terhampar di hadapan.  Kelengangan ini membuat hati ini terlilit.  Aku sendirian.  Tiba-tiba saja kesunyian ini menciptakan rasa sakit melebihi perihnya mataku dan sakit di dadaku.  Biasanya Ibu akan membelai bagian tubuh yang sakit dan menciumnya lembut.  Aku butuh Ibu.
 

Kupandangi tubuh tergolek tak bernyawa di sekitarku.  Aku mencoba bangkit.  Ada kekuatan besar yang mendorong untuk membalik-balikkan tubuh itu.  Aku harus mencari Ayah, juga Ibu.  Tubuh kecil ini lelah. Terpekur aku menatap tanah hitam di kakiku.  Dadaku terasa begitu sesak.  Rententan tanya mengitari kepala.  Kenapa? Ayah selalu berkata Allah akan sayang padaku kalau rajin shalat dan mengaji? Selama ini aku rajin shalat dan mengaji di Meunasah .  Kenapa sekarang aku sendirian disini?  Dimana Allah?  Apa  Dia tak sayang padaku?  Hati ini begitu perih terlilit nyeri.  Wajahku dibanjiri air mata.
 

Airmata tak cukup menghilangkan kepedihanku.  Semua kemarahan pun tak ada yang mendengar.  Tiba-tiba, sebuah tangan kekar membuatku terlonjak.  Ayah!!  Namun senyum di bibirku urung terkembang.  Dia bukan Ayah,  Pakcik , begitu biasa kami menyebutnya.  Ia tetangga kami, kawan dekat Ayah.  Aku kembali menangis dalam pelukannya.  Perih di hati semakin melilit.  Pakcik membersihkan wajahku dan menggandengku pergi.  Kami mulai berjalan menyusuri reruntuhan, lumpur kelam, dan tubuh-tubuh yang membengkak oleh air.  Terasa sesuatu memeras hatiku.  Aku rindu Ayah Ibu.
 

Sabar beuh…, tanyo harus jak aju, hanjeut mati disino .” Pakcik menyemangatiku lembut.  

Andai saja dia tahu,  aku lebih memilih mati.  Ayah dan Ibu pun tak ada lagi.  Kenapa Allah tidak membuatku mati saja, pikirku.  Selama perjalanan, mulutku bungkam.  Saat lapar,  kami mencari kelapa yang tergeletak.  Pakcik memukulkannya di atas batu, lalu kami memakannya.  Saat hujan turun, kami menampung air untuk minum.  Saat itu kami mencari apapun untuk bisa bertahan hidup.
 

Desaku terletak di balik bukit.  Kami harus mendaki dan menuruni bukit untuk mencapai daerah yang lain.  Dari puncak bukit tampak jelas kampungku yang terletak di Calang, tepatnya kampung Blang, telah hancur oleh raksasa hitam yang datang tadi pagi.  Tak satu pun dari kampung kami yang tersisa, semua rata dengan tanah. Pakcik memegang erat bahuku.  Tanpa banyak kata,  aku terus berjalan menatapi tanah yang pekat, dan diam.
 

Kami sedang berjalan menuruni bukit, ketika sesuatu yang berkilat menarik perhatianku.  Sebuah cincin yang melekat di jari seorang wanita.  Tak sabar kubersihkan lumpur di jari wanita itu.  Benar! Ini cincin Ibu! Berarti wanita ini…, dia Ibuku! Dadaku terasa sakit dan hatiku melilit semakin kencang.  Dunia terasa gelap.  Aku ingin Ibuku.  Kugoncangkan tubuh Ibu, berharap mata sejuknya menatapku.  Tak ada yang kudapat selain wajah dingin Ibu yang telah bengkak oleh air.  Kucoba mengambil cincin di jarinya.  Kutarik sekuat tenaga, namun jari Ibu pun telah bengkak oleh air.  Kenapa satu-satunya kenangan yang kupunya pun tak boleh kumiliki?  Pakcik berjongkok mendekat, dengan wajah penuh air mata.  Ia memeluk dan mengusap rambutku.  Pemandangan di sekitar kini hanyalah kegelapan.  Dunia ini seakan telah berakhir bagiku.  Masa depan apa yang tersisa tanpa Ayah dan Ibu di sisi?  Aku hanya terus berjalan dengan kaki penuh lumpur dan rasa sakit yang tak terperi.
 

Be kuat beuh…, nek tanyo karab trok ,”kata Pakcik pagi ini.  

Sebenarnya, aku sudah tak sanggup lagi berjalan. Entah sudah berapa lama perjalanan ini, kami bertahan hidup hanya dengan tampungan air hujan dan apapun yang bisa kami temui.  Menurut Pakcik, kemungkinan kami sudah sampai di Lam Peuneurut, tempat tenda pengungsian, dan bantuan.  Tubuhku tiba-tiba begitu lemah, dan gemetar.  Kaki ini tak sanggup lagi berdiri, dan semua menjadi gelap.

*********
Jakarta, Desember 2004 

Ombak berwarna hitam menyeret apapun di hadapannya.  Pemandangan yang kulihat di televisi hari ini benar-benar memilukan hati.  Gempa dahsyat berskala 8,9 Skala Richter, dan terjangan Tsunami telah melanda Aceh, kampung halamanku.  Wajah Abi, Umi, serta seluruh keluargaku bergantian melintas di kepalaku.  Bagaimana keadaan mereka? Komunikasi lumpuh total, bandara tak berfungsi dan listrik padam, demikian diberitakan televisi.  Kekhawatiran menguasai pikiran.  Kubuang jauh-jauh semua pikiran buruk.  Allah pasti melindungi mereka, kumohon pada-Mu ya Allah.  Aku tersentak mendengar handphone berdering,
   

“Lan, kita harus pulang sekarang,” suara Kak Ayu terdengar begitu gelisah.
   

“Iya Kak, tapi kan Bandara Iskandar Muda gak berfungsi?” aku tak kalah gelisah.
    

“Kita coba aja dulu ke bandara. Semoga kita bisa dapat penerbangan sampai Medan,” tandas  Kak Ayu.
 

Di antara kami bersaudara, hanya aku dan Kak Ayu yang pergi merantau ke Jakarta untuk bekerja dan jauh dari keluarga. Ketakutan dan pikiran buruk tak juga sirna.  Gelombang penuh lumpur yang tadi kulihat di televisi kini bermain di pelupuk mata.    

Kak Ayu datang menjemput, dan kami langsung menuju Bandara Soekarno Hatta.  Suasana hiruk pikuk orang yang menunggu pesawat ke Medan langsung terlihat di sana.  Ternyata, semua pesawat hanya difokuskan untuk mengangkut bantuan, para relawan dan pejabat terkait saja.  Tak ada jalan lain, kami nekat berangkat mengendarai mobil, dan menyetir bergantian.  Tak terpikirkan saat itu betapa jauh jarak yang harus ditempuh.  Harapan untuk segera melihat keadaaan Abi dan Umi mengalahkan segalanya.  Setelah enam hari perjalanan, akhirnya kami tiba dengan selamat di Banda Aceh yang telah porak poranda.
    

Alhamdulillah, Abi, Umi, dan keluarga kami selamat dari musibah ini, kecuali keponakan laki-lakiku yang masih dalam pencarian.  Kami mencarinya ke seluruh tenda pengungsian yang ada, namun tak membuahkan hasil.  Pencarian berakhir di Lam Peuneurut.  Saat itulah aku melihat seorang anak perempuan yang tergolek sangat lemah.  Dari informasi seorang bapak, anak itu berjalan selama delapan hari dari Calang bersamanya.  Dia telah kehilangan keluarganya. Namanya Tia.
 

Di rumah, hatiku dipenuhi perasaan tak menentu.  Kami semua harus merelakan kepergian keponakanku dan hanya bisa berdoa agar kami diberi kekuatan menghadapi segala ketetapan-Nya. Namun, ketetapan-Nya mengenai Tia membawaku pada sebuah perubahan besar.  Hatiku tertarik pada medan magnet yang begitu kuat menyeret padanya. Tatapan mata anak itu seakan menembus jantung, sehingga bisa kurasakan kehampaan hatinya.  Kekosongan jiwaku yang selalu sibuk dengan pekerjaan di Jakarta seakan terusik.  Aku merasakan kehangatan ketika menatap dan membelainya.
 

Hari ini keputusan itu sudah bulat.  Aku kembali ke Lam Peuneurut menjemput Tia pulang bersama. Berhenti bekerja, dan mengabdikan diri di tanah kelahiranku itulah keputusan akhir.  Mengurus Tia, dan kawan-kawan senasibnya, membuat kisi-kisi hatiku hidup kembali.  Aku bertekad memberikan kasih sayang kepada anak-anak yatim korban bencana Tsunami.  Anak-anak seperti Tia harus bangkit dari kepedihan ini, dan menyongsong masa depannya dengan berani.  Atas ijin Allah, aku menjadi Bunda bagi mereka.

**********
Banda Aceh, Juni 2011  

Matahari petang menjelang.  Tak terasa tujuh tahun berlalu.  Awalnya semua begitu berat, namun Bunda, wanita baik yang dikirim Allah untukku dan teman-teman senasibku selalu bisa menyemangati kami.
Berkat bantuan para dermawan, kami tingggal di rumah ini, mendapat pendidikan yang layak, serta kasih sayang seorang Bunda.
 

Hari ini adalah hari terakhirku tinggal di sini.  Aku telah lulus SMA, diterima tanpa tes dan mendapat beasiswa kuliah di Fakultas Ekonomi UII. Cita-citaku sejak lama adalah ingin  mengabdikan hidup untuk menolong sesama, dan menjadi cahaya harapan dalam kegelapan.  Ini langkah pertama menuju impian itu.  Aku yang berjalan tanpa alas kaki selama delapan hari dari Calang ke Banda Aceh, kini terbang ke Yogyakarta.  Andai hari itu Tsunami  tidak melumat kampung halamanku, akankah aku ada disini?  Andai hari itu aku menyerah saja, dan memilih mati, akankah aku sampai di titik ini?  Andai saat itu aku melanjutkan kemarahanku pada Allah,  akankah Allah menganugerahkan semua kebahagiaan ini?
     
“Tia, ajak adek-adek berwudhu nak, shalat dulu!” Suara Bunda merobek lamunanku.
 

Sore itu, usai shalat Ashar berjamaah, kuhampiri Bunda yang masih berdzikir.
     

“Bunda, terimakasih untuk semuanya ....” Kerongkonganku tercekat.  Semua kata yang ingin kusampaikan tak bisa lagi terungkap.
 

Kupeluk erat Bunda, wanita yang menjadi ayah sekaligus ibu bagiku.  Pelipur lara, tapi juga cambuk hidupku. Kebahagiaan, kemarahan, kekecewaan, dan tawanya telah menyatu dalam hatiku.  Bunda, bidadari yang dikirim Allah kami.  Kumohonkan segala kebaikan melimpah baginya.  Butiran bening di mata ini tak tertahan lagi.  Pelukan ini telah mewakili segala rasa yang ada di hatiku.   Airmata membasahi jilbab Bunda, tapi kali ini hatiku hangat, sehangat pelukan Bunda pada tubuh kecilku dulu.  Lilitan perih dalam hatiku telah sirna,  berganti semangat yang menyala.  Tsunami bisa saja menghancurkan kampung halamanku, tapi tidak dengan masa depanku.  Tsunami bisa menghilangkan Ayah Ibuku, tapi tidak dengan semangatku. Tsunami bisa melemahkan tubuhku,  tapi tidak dengan keimananku.  Disinilah aku sekarang. Namaku Tia, anak korban tsunami, mahasiswa Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar