Selasa, 31 Januari 2012

Oleh-oleh Kelas Menulis

Oleh-oleh Kelas Menulis

Tak seperti hari Minggu biasanya,  pagiku sudah sibuk hari ini.  Ceuceu, gadis kecilku, harus berangkat pagi untuk  mengikuti try out di sekolah.  Sedangkan aku, bersiap mengikuti kelas menulis di Rumah Cahaya.  Acara dimulai jam 9, demikian tertulis di sms yang kuterima.  Berarti jam setengah 9 aku sudah harus berangkat, bila ingin sampai tepat waktu.
 
Setelah ritual pagi, mulai dari membangunkan anak-anak,  bermain sebentar dengan Nail, menyiapkan sarapan, lalu aku bersiap mandi.  Menu sarapan mie instan pagi ini disambut cukup meriah.  Ternyata, semua baru selesai jam 8.45.  Berarti perkiraan keberangkatan meleset.  Better late than never, akhirnya diantar suami tercinta, dan pendukung setiaku, Nail, aku meluncur menuju Rumah Cahaya.

 

“Bunda mau sekolah ya?” tanya Nail lucu.
 
“Iya, Bunda sekolah dulu ya ..., nanti Nail jemput lagi.”
Akhirnya kami tiba di “sekolah”ku, Rumah Cahaya, dan ternyata aku belum terlambat.  Beberapa orang sudah hadir, dan menanti dengan setia.  Disambut wajah-wajah penuh kedamaian, cukup membuat hatiku berbunga-bunga. (lebay mode-on),
    
Tak lama acara dimulai, dibuka dengan khidmat oleh moderator yang (katanya) ganteng, dilanjutkan pembacaan surah Ar-Rahman oleh ustadz yang (katanya juga) ganteng.  Kemudian, materi yang diberi judul “Mulailah Menulis dengan Hati” dipaparkan dengan pelan tapi pasti oleh ustadz M. Baiquni yang ramah, baik hati, dan tidak sombong. 
    
Sebagai murid yang baik, polos, dan lugu, kami mendengarkan dengan takzim paparan  yang disampaikan.  Poin-poin yang disampaikan pun dicatat dengan baik (yang ini bukan aku ).  Intinya adalah menulis dalam bingkai keislaman perlu dibarengi dengan gaya penulisan yang jauh dari kesan menggurui.  Untuk memulai menulis,  penulis pemula harus menuliskan apapun yang ada di pikiran sebagai langkah awal.  Namun, ternyata membaca juga sangat penting dalam proses menjadi seorang penulis. Prosentasenya bagi pemula konon 70 % membaca, 30% menulis. 
 
Bagaimana jika seorang penulis tidak suka membaca?  Sebenarnya diksi, gaya tulisan, dan wawasan itu didapat dari membaca.  Bahkan penulis pemula dianjurkan melakukan ATM (bukan Anjungan Tunai Mandiri), yaitu Amati, Tiru, Modifikasi.  Semakin sering membaca, dan menulis, seorang penulis akan semakin memahami gaya dan karakter tulisannya.  Sebaiknya, seorang penulis pemula membiasakan diri membaca.
 
Membaca sebuah tulisan itu penting, tetapi tak kalah penting adalah setiap penulis harus pandai membaca situasi.  Melihat apa yang ada di sekeliling tidak hanya dengan mata, tetapi juga dengan hati.  Penulis yang pintar membaca sekitar, akan mampu menangkap lingkaran ide yang disediakan alam padanya.  Allah SWT tak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia, so... apapun yang kita lihat dapat menjadi butir pembelajaran.
 
Kelas menulis ini dilanjutkan dengan diskusi-diskusi menarik, diselingi canda yang menghangatkan suasana.  Berbagi pengalaman menulis, menyampaikan kesulitan-kesulitan dalam menulis, dan mencari solusinya bersama-sama.  Inilah inti dari kelas menulis sebenarnya.  Ilmu yang didapat bukan tergantung siapa yang menjadi pemateri.  Namun, semangat kebersamaan untuk saling memotivasi menulis yang membuat semua ini jadi sangat berguna.  Teori-teori menulis dapat dengan mudah kita dapatkan.  Tinggal ketuk pintu Mbah Google, maka apapun yang kita tanya dapat kita pilih jawabannya.  Suntikan energi untuk berkarya, itulah yang sangat kita perlukan sebagai penulis pemula.  Seperti aku, yang tiba-tiba saja memiliki energi kembali untuk menuliskan ini sesegera mungkin.
 
Sesi terakhir kelas diisi dengan latihan menulis.  Ustadzah Ade, yang kebaikan hatinya terpancar dari setiap katanya, meminta kami menulis tentang “Siapa Saya?” dalam waktu 10 menit.  Tulisanku mengalir begitu saja, deras, dan tak sempat membuat berhenti untuk berpikir.  Menulis dari hati, mempunyai kekuatan yang luar biasa.  Curahan hati yang membuatku (sekali lagi) menitikkan airmata dalam kehangatan ukhuwah ini.  Entah kenapa, setiap kali  berada dalam situasi ini, hatiku selalu tergetar.  Mungkin terkesan berlebihan, namun ini ketiga kalinya aku berusaha sekuat tenaga menahan airmata yang akan tumpah. 
 
Akhirnya setelah puas berdiskusi, kelas menulis ini ditutup dengan doa.  Tak lama Nail datang menjemputku.  Aku berpamitan, dan pulang dengan hati penuh semangat menulis yang kembali timbul, setelah tenggelam sekian lama.  Kelas menulis ini pasti kurindukan.  Nail akan sering mengantar Bunda sekolah, dan menjemput kembali Bunda yang telah mengisi penuh baterai menulisnya.  Aamiin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar